BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tasawuf sebagai salah satu ilmu esoterik islam
memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih pada saat ini dimana
masyarakat seakan dikatakan mengalami kekeringan spiritual sehingga tasawuf
dianggaap sebagai satu obat ampuh untuk mengobati kehampaan tersebut.
Terlepas dari banyaknya pro dan kontra seputar
asal mula munculnya tasawuf harus kita akui bahwa nilai-nilai tasawuf memang
sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Setidaknya tasawuf pada saat itu terlihat
secara konseptual dari tingkah laku nabi yang pada akhirnya kita namakan dengan
nilai-nilai sufi seperti sikap zuhud, sabar, qona’ah, rendah hati, dan lain
sebagainya. Hal tersebut sangatlah wajar karena misi terpenting nabi adalah
untuk memperbaiki dan sekaligus meyempurnakan akhlak masyarakat arab dulu.
Seperti termaktub dalam hadits “innama buitstu li utammima makarima al-akhlak”
(sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak).
Dalam islam tasawuf digambarkan sebagai salah satu
aspek dari segi tiga yang sangat berhubungan erat. Segi tiga itu yaitu pertama:
Islam, sebagai aspek ‘amali yang meliputi ritual-ritual ibadah dan muamalah
yang pada perkembangannya lebih akrab disebut dengan syari’ah. Kedua: Iman,
sebagai aspek i’tiqodi yang termasuk didalamnya iman kepada Allah,
malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, utusan-utusanNya, hari ahir dan
takdirNya. Ketiga: Ihsan, sebagai aspek al-ruhi yaitu aspek kejiwaan. Di dalam
aspek kejiwaan inilah terkandung banyak sekali maqam atau sifat-sifat yang
nantinya akan disebut dengan istilah tasawuf atau hakikat. Diantara salah satu
tokoh tasawuf islam yang sangat terkenal adalah Muhammad ibn Muhammad ibn
Muhammad ibn Ahmad al-Thusi atau yang kita kenal dengan sebutan Imam
Al-Ghazali. Beliau telah berhasil menggagas kaedah-kaedah tasawuf yang
terkumpul dalam karya monumentalnya Ihya’ U’lum al-Din (The Revival of Religion
Sciences). Karya al-Ghazali ini dianggap sebagai jembatan yang mendamaikan
syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada zaman itu. Dalam
sejarah Islam memang terkenal adanya pertentangan keras antara kaum syari'at
dan kaum hakekat, gelar yang diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini
mereda setelah al-Ghazali datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah yang
dapat membawa orang kepada kebenaran yang menyakinkan. Lebih dalam lagi karya
al-Ghazali dianggap sebagai cikal bakal dari tumbuhnya berbagai aliran tasawuf
modern yang saat ini sedang banyak diminati oleh masyarakat.
Ada banyak komentar yang datang kepada al-Ghazali
mulai dari kelompok yang memuji-muji karya dan pemikirannya hingga kelompok
yang mencaci maki dan menganggap al-Ghazali sebagai tokoh yang harus
bertanggung jawab atas kemunduran islam. Seperti apa sebenarnya pemikiran
tasawuf al-Ghazali sehingga ia begitu banyak menjadi perhatian para ulama’ dan
menjadi lahan subur bagi para akademisi yang ingin menyelami pemikirannya,
makalah ini akan mencoba membuka dan menelaah sebagian pemikiran al-Ghazali
dalam tasawuf.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Sekilas Tentang Al-Ghazali
Al- Ghazali yang terkenal dengan sebutan al-Gazel
di dunia barat adalah seorang ahli sains terkemuka. Dalam perjalanan hidupnya
ia merupakan seorang pengembara ilmu. Hal ini setidaknya dapat dibuktikan
dengan karya-karyanya yang kaya akan berbagai cabang keilmuan. Selain di kenal
sebagai tokoh sufi ia juga dikenal sebagai seorang ulama’ usul fiqh dengan
karyanya al-mustashfa, ia juga dikenal sebagai tokoh filsafat dengan karya
hebatnya Tahafut al-Falasifah yang mengkritik konsep berfikir para filosof saat
itu. Al-Ghazali menganggap para filosof pada saat itu telah melewati batas dan
terjadi kehawatiran yang mendalam akan rusaknya akidah kaum filsafat sehingga
ia berinisiatif untuk meluruskan pemikiran filsafat pada zaman itu.
Abu Hamid al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450
hijriyah di kota tush yaitu kota kedua setelah naisabur di daerah khurasan atau
pada saat ini berada pada bagian timur laut negara Iran.
Lelaki dengan nama lengkap Muhammad ibn Muhammad
ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi ini mendapat banyak gelar dalam dunia islam.
Diantara gelar yang paling terkenal adalah Hujjah al-Islam dan Zain al-‘Arifin.
Ia diberikan gelar Hujjah al- Islam karena ia menjadikan tasawuf sebagai
hujjahnya dalam berbagai perbincangan kesufian.
Selama perjalanan hidupnya ia pernah berguru
kepada ahli fiqh asy-Syaikh Ahmad ibn Muhammad al-Radhakani kemudian ia
berpindah ke negeri Jurjan. Di sana ia berguru kepada Imam Abu Nasr al-
Ismaili. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Jurjan ia kembali melanjutkan
pengembaraannya. Kali ini ia pergi ke kota naisabur dan berguru kepada seorang
ulama’ terkenal asy-Syaikh Diya’uddin Abu al-Ma‘ali 'Abdul Malik ibn ‘Abdullah
al-Juwaini atau syaikh al- Haramain. Sedangkan guru al-Ghazali dalam bidang
tasawuf adalah Syaikh Abu 'Ali al-Fadl ibn Muhammad al-Farmadhi at-Tusi seorang
'alim dan faqih, yang lebih terkenal di hari tuanya sebagai seorang guru sufi.
Di bawah bimbingan gurunya ini, al-Imam Abu Hamid al-Ghazali telah mengamalkan
beberapa latihan rohani, tetapi dia tidak sempat mencapai tahap kesempurnaan,
kerana gurunya ini telah meninggal dunia pada tahun 477 Hijrah. Namun ia
akhirnya meneruskan pengembaraan tasawufnya bersama gurunya yang lain yaitu
Syaikh Abu Bakr Yusuf an-Nassaj at-Tusi.
Pada masa hidupnya ia terkenal sebagai seorang
‘alim yang sering berpindah-pindah. Ia pernah bermukim di Mesir Iskandariyah,
Damaskus, Bagdad, dan Makkah al-Mukarramah. Ia juga sempat diangkat sebagai
ketua profesor di Madrasah al-Nidhomiyah di Baghdad. Disepanjang perjalanan
hidupnya ia telah menulis banyak buku-buku islam dalam berbagai ilmu agama
mulai dari ilmu kalam, usul al-fiqh, filsafat, dan ilmu tasawuf. Karya-karya
al-Ghazali sering kali dijadikan rujukan oleh para akademisi dunia bahkan
banyak profesor yang mengkaji secara serius karya dan pemikiran Abu Hamid
al-Ghazali.
Al-Ghazali wafat pada tahun 505 hijriah atau 18
desember 111 M di daerah kelahirannya Tush.
B. Al-Ghazali dan Tassawuf
Dalam bidang tasawuf Al- Ghazali berusaha meletakkan kembali posisi tasawuf
ke tempat yang benar menurut syari’at Islam. Al-Ghazali membersihkan ajaran
tasawuf dari pengaruh faham-faham asing yang masuk mengotori kemurnian ajaran
Islam. Pada saat itu banyak yang beranggapan bahwa seorang ahli tasawuf yang
tidak beri’tikad dangan faham di atas, maka sebenarnya tidak pantas diberi
gelar sebagai ahli tasawuf Islam. Sehingga sebagian orientalis Barat
terpengaruh dengan pendapat ini. Contoh-nya Nicholson, ia berpendapat,
“Al-Ghazali tidak termasuk dalam golongan ahli tasawuf Islam, karena ia tidak
beri’tikad dengan wihdat al-wujud”.
Dalam usaha pembersihannya tersebut, Al Ghazali mengawali kitabnya Ihya
‘Ulumiddin dengan pembahasan faraidh al-Diniyah, kemudian diikuti
dengan pembahasan Nawafil dan selanjutnya baru diikuti dengan cara-cara yang
sepatutnya diikuti untuk sampai ke martabat yang sempurna. Ketertarikan
Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya memperoleh pencerahan dan
ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki peran yang cukup
signifikan dalam peta perkembangan tasawuf selanjutnya. Jika pada awal
pembentukannya tasawuf berupaya menenggelamkan diri pada Tuhan dimeriahkan
dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub
al-ilah), Abu Yazid Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian
berkembang dengan munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi
(wahdat al-wujud), Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana’, dan
wahdat at-shuhud) yang mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan
mengenyampingkan syariah, kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan warna
lain; dia telah mampu melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu kalam,
fiqih,dan tasawuf yang sebelumnya terjadi ketegangan.
Peran terpenting yang di pegang al-Ghazali terjadi pada abad ke lima
hijriyah. Pada saat itu terjadi perubahan yang jauh oleh para sufi. Banyak dari
mereka yang tenggelam dalam dunia kesufian dan meninggalkan syariat.
Kampanye al-Ghazali dalam mengembalikan tasawuf pada jalan aslinya yaitu
tidak menyimpang dari nash dan sunah Rasul telah membawa perubahan besar pada
zamannya. Ia berpendapat bahwa seorang yang ingin terjun dalam dunia kesufian
harus terlebih dahulu menguasai ilmu syariat. Karena praktek-praktek kesufian
yang bertentangan dengan syariat islam tidak dapat dibenarkan. Menurut
al-Ghazali tidak seharusnya antara syariat dan tasawuf terjadi pertentangan
karena kedua ilmu ini saling melengkapi.
Dalam kitabnya Ihya’ U’lum al-Din al-Ghazali menjelaskan dengan detail
hubungan antara syariat dengan tasawuf. Ia memberikan contoh praktek syariat
yang kosong akan nilai tasawuf (hakikat) maka praktek itu tidak akan diterima
oleh Allah dan menjadi sia-sia. Sebaliknya praktek tasawuf yang meninggalkan
aturan syariat islam maka praktek itu akan mengarah pada bid’ah. Ibarat syariat
adalah tubuh maka nilai-nila tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya
tidak dapat dipisahkan.
C. Konsep Ma’rifat Al-Ghazali
Konsep ma’rifat merupakan bagian dari finalitas
maqomat seorang sufi. Setelah seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari
taubah, wira’i, zuhud, faqru, sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada
satu tsamroh atau hasil dari perjalanan kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang
dalam kitab Ihya’ U’lum al-Din di namakan dengan mahabatullah.
Keterikatan antara 'mahabbah' dan makrifat dalam
pemikiran sufisme amat erat seolah sepasang kembar yang tak dapat dipisahkan
baik subtansi maupun sifat-sifatnya. Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada
pengenalan yang tidak melahirkan cinta. Ini berlaku dalam setiap taraf
spritual.
Dalam Ihya’ U’lum al-Din al- Ghazali menyebutkan
bahwa untuk sampai pada mahabbah seseorang harus meninggalkan hal-hal duniawi
dan mengarahkan semua konsentrasi dan tujuan hidupnya hanya kepada Allah
semata. Proses mengenal dan mencari Allah itulah yang kemudian disebut dengan
ma’rifat.
Menurut al-Ghazali proses mengenal Allah tidak dapat dilakukan hanya dengan
Menurut al-Ghazali proses mengenal Allah tidak dapat dilakukan hanya dengan
Menggunakn akal sebagaimana yang diyakini oleh
para kaum filsafat. Al-Ghazali mengaatakan bahwa pengenalan Allah dengan dhauq
atau perantara intuitif (batini) akan lebih dapat memberikan keyakinan dan
ketenangan spiritual dari pada hanya sebatas bersandar dengan akal.
Proses ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada
tuhannya untuk mencapai mahabbah berbeda-beda. Al-Ghazali membagi kelompok
orang-orang yang sampai pada tingkat ma’rifat dan mahabbah kepada dua tingkatan
yaitu pertama tingkatan seseorang yang kuat dalam ma’rifat. Dia adalah
seseorang yang menjadikan Tuhan sebagai awal ma’rifatnya dan kemudian dengan
ma’rifat itu ia mengenal segala sesuatu yang selain Tuhan. Kedua adalah
tingkatan seseorang yang lemah ma’rifatnya. Yaitu seseorang yang bermula dengan
mengenal ciptaan Tuhan kemudian dengan ma’rifatnya ia mengenal Tuhan.
Untuk sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang
sempurna kepada Tuhan tentunya seorang sufi terlebih dahulu harus melewati
berbagi maqom dan melewati batas fana’. Fana’ merupakan satu istilah yang
menggambarkan seorang sufi yang telah melakukan proses takhalli dan tahalli.
Seorang yang mencintai Tuhan akan berusaha bertakhalli atau membersihkan diri
dan jiwa dari segala macam sifat yang dibenci oleh Tuhan. Begitu juga
sebaliknya setelah seorang sufi melakukan tahkalli (pembersihan) maka ia akan
mengisi hidupnya dengan sifat-sifat yang dicintai oleh Tuhan atau bertahalli.
Finalitas dari sebuah mahabbah dan ma’rifat yang
sempurna adalah terbukanya hijab dan terjadinya tajalli atau penampakan Tuhan
pada makhluknya. Seorang yang telah sampai pada maqom ini akan merasa hidupnya
terpenuhi oleh cahaya Tuhan. Bahkan terkadang saat berada dalam kondisi sakran
(mabuk) seseorang akan mengeluarkan ucapan-ucapan teopatis atau dalam istilah
tasawuf syatotoh.
Yang menarik dari konsep ma’rifat al-Ghazali
adalah penolakannya pada konsep-konsep tokoh sufi sebelum al-Ghazali seperti
Abu Yazid dengan konsep ittihad, al-Hallaj dengan konsep hulul, ibn Arabi
dengan konsep wahdah al-wujud.
Menurut al-Ghazali paham tersebut berkecenderungan
ke arah ketuhanan yang bercorak panteistis-imanenis yang menggambarkan Tuhan
sebagai Dzat yang imanen dalam diri manusia. Al-Ghazali melihat itu semua
sebagai paham yang akan merusak konsep tauhid yang menjadi ciri khas dogma
teologi dalam Islam. Dalam bukunya, al-Munqidz, ia melihat rumusan mengenai
kedua konsepsi ini sebagai khayalan semata.
Katanya, "... sampailah ia ke derajat yang
begitu dekat dengan-Nya sehingga ada orang yang mengiranya sebagai hulul,
ittihad atau wushul. Semua persepsi itu adalah salah belaka. ... barang siapa
mengalaminya, hendaklah hanya mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat
diterangkan, indah, baik, utama, dan jangan lagi bertanya."
Dengan batasan ini, bisa dilihat bahwa al-Ghazali
mempertahankan keyakinan mengenai Tuhan sebagai Dzat yang transenden. Artinya
Tuhan adalah Dzat yang mengatasi dan berbeda dengan manusia : Ada perbedaan
mendasar antara Tuhan dan makhluk (manusia) secara jelas dalam pandangan
al-Ghazali.
Akan tetapi penolakan al-Ghazali terhadap hulul
dan ittihad di atas tidak otomatis merupakan penolakannya pada pengalaman
orang-orang yang telah mencapai maqom ma’rifat. Bagi al-Ghazali, pengalaman itu
benar adanya. Kaum `arifun, setelah pendakiannya ke langit hakekat, sepakat
bahwa mereka tak lagi melihat dalam wujud ini kecuali Tuhan.
Adapun ucapan al-Hallaj ana al-Haq, dan
ucapan-ucapan tokoh sufi lainnya yang dianggap aneh dan menyesatkan sebenarnya
hanyalah merupakan kata-kata teopatis atau syatotoh. Ia merupakan ucapan yang
terlepas di bawah kontrol kesadaran seseorang saat ia berada dalam keadaan
mabuk (sakran) akan cinta Tuhan. Ucapan-ucapan itulah yang selanjutnya di sebut
sebagai ajaran-ajaran ittihad, hulul dan wihdatul wujud.
Menurut dia, ilmu sejati atau ma'rifat sebenarnya
adalah mengenal Tuhan. Mengenal Hadrat Rububiyah. Wujud Tuhan meliputi segala
Wujud. Tidak ada yang wujud, melainkan Tuhan dan perbuatan Tuhan. Tuhan dan
perbuatannya adalah dua, bukan satu. Itulah koreksi al-Ghazali atas pendirian
al-Hallaj dan ulama sufi lainnya.
Wujudnya ialah kesatuan semesta (wihdatul wujud).
Alam keseluruhan ini adalah makhluk dan ayat (bukti) tentang kekuasaan dan
kebesaran-Nya. Sedangkan penglihatan akan Tuhan melalui alam dan makhlukNya
adalah sebatas tajalli atau penampakan akan keberadaan Tuhan bukan berarti
Tuhan menyatu dengan alam apalagi mengalami perstuan ke dalam tubuh manusia.
D. Penyebaran Ajaran Tassawuf Al-Ghazali
Al Ghazali adalah salah satu ulama’ dan juga sufi yang terkenal di dunia.
Hal ini disebabkan salah satu faktornya adalah karangan kitab beliau yang
terkenal dengan nama Ikhya’ Ulumuddin (Menghidupkan ilmu-ilmu agama). Dalam
kitab ini pembahasannya dibagi menjadi empat bab dan masing-masing dibagi lagi
menjadi 10 pasal, yaitu:
Pada bab pertama: tentang Ibadah (rubu’ al – ibadah). Bab kedua: tentang
adat istiadat (rubu’ al – adat). Bab ketiga: tentang hal -hal yang mencelakakan
(rubu’ al – muhlikat). Sedangkan bab yang keempat: tentang maqamat dan ahwal
(rubu’ al – munjiyat). Namun yang menjadi isi pokok pada kitab tersebut adalah
ikhlas dengan tauhid Allah dan Ikhlas menjalankan tauhid Allah. Namun yang
menjadi kekurangannya adalah al ghazali tidak membahas tentang jihad dalam
kitab tersebut, padahal pada saat itu dalam keadaan perang.
REFERENSI
- Abdul Munir Mulkhan, Mencari Tuhan Dan Tujuh Jalan Kebebasan. Jakarta: Bumi Aksara (1991).
- DR. Rosihon Anwar, M.Ag. dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia (2007).
- http://elmisbah.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar