Jumat, 25 Mei 2012

madrasah nizhamiyah


BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Madrasah merupakan ciri khas dalam pendidikan dunia Islam. Banyak orang yang memandang sebelah mata apabila dikenalkan nama pendidikan Islam. Menurut sebagian orang, pendidikan Islam kalah kualitas dibandingkan pendidikan umum. Benarkah ?

Tentunya, mereka yang berpandangan demikian karena belum pernah membaca sejarah Islam secara utuh. Pada pertengahan abad kedelapan Masehi atau abad kedua Hijriyah, merupakan masa-masa keemasan Islam (The Golden Ages of Islam). Kondisi ini berlangsung pada masa kekhalifahan Islam di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah (133-656 H/750-1258 M). Saat itu, dua per tiga bagian dunia dikuasai oleh kekhalifahan Islam. Selain itu, tradisi keilmuan berkembang pesat. Berbagai sumber menyebutkan, masa kejayaan Islam, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, terjadi pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Dia adalah khalifah Dinasti Abbasiyah yang berkuasa pada 786 M hingga 809 M.

Salah satu puncak pencapaian yang membuat nama Khalifah Harun al-Rasyid melegenda adalah perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada masa kepemimpinannya, terjadi penerjemahan sejumlah karya dari berbagai bahasa. Inilah yang menjadi titik awal kemajuan yang dicapai Islam. Menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada era itu pula, beragam disiplin ilmu pengetahuan dan peradaban mulai berkembang. Perkembangan tersebut berkat dorongan pemerintah saat itu yang menyediakan berbagai fasilitas dan memberikan kebebasan intelektual para siswanya.

Pengembangan ilmu pengetahuan pada masa itu dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, dilakukan penerjemahan buku-buku Yunani, Persia, Suriah, dan India ke dalam bahasa Arab. Ribuan buku yang diambil dari perpustakaan-perpustakaan lama, dibawa ke Irak (pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah–Red) untuk diterjemahkan dan sejumlah perpustakaan baru didirikan. Gerakan penerjemahan ini berlangsung dari tahun 750-850 M.

Kedua, karya-karya yang diterjemahkan itu kemudian diberi komentar oleh para sarjana Islam. Teori-teori yang ada diberi penjelasan dan disesuaikan dengan ajaran Islam. Melalui renungan, pengamatan, penelitian, dan eksperimen (percobaan), para tokoh Muslim dapat melahirkan teori-teori dan konsep-konsep baru. Dari kegiatan ini, mereka menghasilkan ribuan karya tulis dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.

Ketiga, didirikan lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi, seperti Baitul Hikmah (perpustakaan raksasa sekaligus pusat kajian ilmu pengetahuan dan peradaban terbesar pada masa itu), Majelis al-Manazarah, dan Madrasah Nizhamiyah. Selain itu, masjid-masjid, istana, dan rumah para sarjana difungsikan sebagai tempat belajar.[1]

Pada tulisan ini kami menghususkan membahas mengenai sejarah dan perkembangan Madrasah Nizamiyah, asal usul pendirinya serta berbagai keunggulannya.



BAB II
PEMBAHASAN

1. MADRASAH NIZAMIAH
Diantara pembesar-pembesar zaman Saljuq yang membangunkan madrasah-madrasah  ialah Nizam Al-Mulk.Ia diangkat menjadi menteri oleh Maliksyah As-saljuq pada pertengahan abad yang kelima Hijriah.Madrasah yang didirikan oleh Nizam Al-Mulk dinamakan Madrasan Nizamiah.
Madrasah-madrasah Nizam Al-Mulk itu termasyhur di seluruh dunia. Pada tiap-tiap kota Nizam Al-Mulk mendirikan satu madrasah yang besar,diantaranya di Baghdad,Balkh, Naisabur, Harat, Ashfahan, Basran, Marw, Mausul, dll. Bahkan pada tiap-tiap kota diseluruh Irak dan Khurasan ada satu madrasah. Tetapi madrasah Nizamiah Baghdad adalah yang terbesar dan terpenting dari semua madrasah.
            Madrasah nizamiah itu dapat disamakan dengan fakultas-fakultas masa sekarang,mengingat guru-gurunya adalah ulama-ulama besar yang termashur pada abad yang kelima hijriah seperti Syiroji,Al-Gazali,Ibnu Shabbagh,Ibnu Al-Anbari dll.
            Tujuan Nizam Al-Mulk mendirikan madrasah-madrasah itu ialah untuk memperkuat pemerintahan Turki Saljuq dan untuk menyiarkan mazhab ke agamaan pemerintahan sultan-sultan Turki dari golongan ahli Sunnah,sedangkan pemerintahan Buwaihiay yang sebelumnya adalah dari kaum Syiah. Sebab itu madrasah-madrasah Nizamiah menyongkong Sultan dan menyiarkan mazhab ahli sunnah keseluruh rakyat.
Menurut ahli sejarah islam, bahwa Nizam Al-Mulk adalah orang yang mula-mula mendirikan madrasah dalam islam, karena pada masa sebelum Nizam Al-mulk pengajaran agama yang diberikan di masjid-masjid dan bukan di gedung-gedung madrasah yang diperbuat oleh nizam al-mulk.Sedangkan Baitul Hikmah di Baghdad dan Darul Ilmi di kairo dalam gedung perpustakaan bukan gedung madrasah.Hanya saja gedung perpustakaan pada masa itu bukan saja tempat membaca, tetapi juga tempat belajar dan tempat perdebatan dalam bermacam-macam masalah dan berbagai ilmu pengetahuan.Sebab itu setengah ahli sejarah menamakan Baitul Hikmah di Baghdad dan Darul Ilmi di Kairo itu ‘’Madrasah”, sedangkan setengah ahli sejarah yang lain menamakannya “Perpustakaan”.
2.      MADRASAH NIZAMIAH DI BAGHDAD

   Umumnya madrasah nizamiah itu satu sistem,satu tujuan, dan satu rencana pelajarannya. Madrasah Nizamiah ini didirikan dekat pinggir sungai Dijlah di tengah-tengah pasar Selasah di baghdad.Mulai dibangun pada tahun 457 H (1065 M) dan selesai dibangun pada tahun 459 H. Madrasah itu tetap hidup sampai pertengahan abad keempat belas yaitu ketika dikunjungi oleh ibnu Bathuthah.Jadi madrasah Nizamiah Baghdad itu hidup selama tiga abad lamanya.
            Guru-guru Madrasah Nizamiah Baghdad di antaranya ialah :
·         Abu Ishak As-Syirazi              (476 H = 1083 M)
·         Abu Nashr As-Shabbagh        (477 H  = 1084 M)
·         Abul Qasim Al-Alawi             (482 H = 1089 M)
·         Abu Abdullah At-Thabari       (495 H = 1101 M )
·         Abu Hamid Al-Gazali             (505 H = 1111 M)
·         Radliyud-din Al-Qazwini       (575 H = 1179 M)
·         Al-Firuzabadi                          (817 H = 1414 M)[2]

Riwayat guru yang pertama di madrasah Nizamiah Baghdad.
Setelah selesai pembangunan gedung madrasah Nizamiah di baghdad maka Nizam al-Mulk menetapkan guru yang akan mengajar di madrasah itu ialah Syekh abu Ishaq As-Syirazi.Pelajar-pelajar telah berkumpul untuk mendengarkan pelajaran yang pertama dan menunggu kedatangan tuan Syekh,tetapi beliau tidak juga hadir dan kemudian dijemput ke rumahnya  beliau tidak ada.
Sebab beliau tidak hadir ialah karena beliau berjumpa dengan seorang yang berkata kepada beliau “Mengapakah tuan mengajar di tempat yang di rampas (haram)?”.Maka berubahlah pendiriannya dan tidak mau mengajar di madrasah itu.
Setelah tidak ada harapan bahwa beliau tidak akan hakdir,lalu ditunjuklah Abu Nashr As-Shabbagh untuk mengajar sebagai pengganti beliau,maka duduklah Abu Nashr memberi pelajaran.
Tatkala mengetahui Nizam Al-mulk, bahwa Abu Ishaq tidak sedia mengajar di madrasah itu,lalu ia membujuk beliau agar mengajar dan menghilangkan keraguan dihatinya .Dan akhirnya pun beliau mengajar juga di madrasah itu.Sedangkan Ibnu Shabbagh hanya 20 hari saja mengajar di madrasah tersebut.

3.      PERKEMBANGAN DAN STRATEGI MADRASAH NIZAMIYAH

Hal yang membuat lembaga-lembaga pendidikan Madrasah Nizamiyah signifikan dalam sejarah Islam adalah bahwa mereka semua penganut mazhab Syafi’iyyah dan berada di Nishapur, sebuah tempat penting untuk memahami kerangka politik, khususnya yang berhubungan dengan konflik internal Sunni antara Syafi’iyyah dan Hanafiyyah. Dua kelompok besar ini merupakan gerakan keagamaan yang paling berpengaruh di Nishapur pada paro pertama abad ke-11. sejarawan ahli masa klasik dan pertengahan dari Amerika, Bulliet, menyebut mereka sebagai tokoh-tokoh yang meramaikan Nishapur selama dua abad. Ini tidak berarti bahwa kelompok Qarramiyyah (Qaramithah), Syiah, Malikiyyah dan Hanbaliyyah tidak mempunyai peran.[3] Pemberian perhatian khusus kepada dua raksasa itu berdasarkan alasan bahwa keduanya telah memainkan peran penting dalam bernegosiasi dengan pemerintah pusat Baghdad. Bajkan, al-Kunduri, salah seorang wazir Seljuk sebelum Nizam al-Mulk terkenal sebagai penganut Hanafiyyah yang congkak. Adapun Nizam al-Mulk, wazir Seljuk yang terbesar dan termasyhur terkenal sebagai Syafi’iyyah tulen.
Ada beberapa petunjuk yang memperlihatkan konflik mereka. ‘Asabiyyah atau ta’assub yang berarti fanatisme pada ajaran khusus keagamaan mereka bukanlah hal yang baru di dunia Islam, baik pada abad ke-10 maupun pada abad ke-11. ‘Abd ar-Rahman as-Sabuni dihukum mati tahun 900 H atas dasar fanatisme mazhab. Kecenderungan semacam ini juga bisa ditemukan dalam kelompok Syafi’iyyah dan Hanafiyyah. Mereka berkompetisi dalam memperoleh posisi keagamaan di pemerintahan, yakni sebagai qadli, shaikh al-Islam, juga dalam mendirikan madrasah-madrasah untuk mempersiapkan ulama-ulama masa depannya.
Jarangnya terjadi pernikahan antarmereka juga merupakan point penting yang mempertajam ketegangan. Bisa dipahami bahwa perkawinan antarkelompok pada dasarnya berpotensi meredam konflik, menyebabkan transfer kekayaan, kekuatan dan nilai-nilai sosial keagamaan yang paling asasi. Tatkala perkawinan antarkelompok ini hilang dari sebuah komunitas yang heterogen seperti yang terjadi dalam panggung sejarah ini, mudah diterka bahwa kohesi sosial dalam keragaman mazhab menjadi kurang solid.
Konflik ini lebih jelas bila disepakati bahwa semua Syafi’iyyah adalah Asy’ariyyah yang akan menjadi aliran teologi terpenting di hari kemudian. Kelompok yang terakhir ini tidak hanya berhadapan dengan Mu’tazilah, tetapi juga bersitegang dengan Hanbaliyyah pada abad ke-11. pada abad ini Asy’ariyyah agaknya berhasil mengakhiri pengaruh Mu’tazilah. Dua abad sebelumnya, ketika pengaruh Mu’tazilah demikian besar, al-Mutawakkil (salah seorang Khalifah Abbasyiah Baghdad 232 H/847 M) menghukum mereka secara dahsyat. Al-Juwaini dan al-Ghazali (meninggal 1111 M) adalah dua contoh utama pendukung Ash’ariyyah yang berhasil mengasingkan ide-ide Mu’tazilah di masyarakat.
Kembali ke faksi Sunni, sesungguhnya faksi itu lebih merupakan masalah manajemen pertentangan yang ada antarkelompok. Pada tingkat tertentu polaritas ini memburuk karena perpanjangan penguasa. Karena Nishapur merupakan daerah subur, berpenduduk banyak dan beberapa ulama penting ada di situ, pemerintah pusat di Baghdad memberikan perhatian khusus terhadap daerah ini. Tatkala Nishapur dibawah pemerintahan Ghaznawiyah sebelum jatuh selamanya ke tangan Seljuk tahun 1039 M, patronasi (patronage) penguasa berganti-ganti antara Hanafiyyah dan Qarramiyyah. Aliansi temporer ini terus berlangsung selama pemerintahan Seljuk. Hanafiyyah dan Syafi’iyyah adalah dua kekuatan utama yang bersaing dalam merebut simpati pemerintah. Pada tahun 1048 M persekusi resmi terhadap Syafi’iyyah oleh al-Kunduri, wazir Seljuk, dimulai. Mulai tahun ini sampai meninggalnya al-Kunduri (1064 M), yang dihukum mati secara rahasia karena kesalahannya menentang pengganti Tugril Beg, Alp Arslan, NAishapur didominasi oleh Hanafiyyah dengan intens.
Dari segi kemampuan politik strategis, al-Kunduri terlalu lemah jika dibandingkan dengan Nizam al-Mulk. Al-Kunduri tidak pernah berestimasi bahwa persekusinya terhadap Syafi’iyyah akan menghasilkan “musuh-musuh besar” di kemudian hari, seperti Imam al-Haramayn dan Abu Sahl Muhammad bin Imam al-Muwaffaq.
Seperti al-Kunduri, Nizam al-Mulk juga memanfaatkan rivalitas yang ada diantara faksi-faksi. Perbedaannya adalah kecermatan Nizam dalam mendekati masalah dan estimasinya yang brilian. Tidak diragukan lagi bahwa Nizam cerdik-cendekia dan bijak dalam menyelesaikan setiap persoalan. Karyanya mengenai persoalan-persoalan pemerintahan yang bias kit abaca sampai sekarang merupakan salah satu buktinya. Selama 20 tahun pemerintahan Maliksyah, kekuasaan Nizam benar-benar mutlak. Dialah penguasa riil di Kerajaan Seljuk, sebuah posisi yang juga diidam-idamkan oleh al-Kunduri tetapi ia gagal meraihnya.
Pada hari kemenangan Nizam al-Mulk, keputusan sepenuhnya berada di tangannya. Sebagai politisi yang bijak dan ulung, dia memilih cara memeperoleh simpati masyarakat dengan cara memperbanyak Madrasah Nizamiyah, memanfaatkan ulama-ulama Syafi’iyyah dan memperkuat institusi-institusi Syafi’iyyah secara umum. Apa yang ia lakukan ternyata berbuah besar. Beberapa ulama Syafi’iyyah-Ash’ariyyah abad ini, seperti Imam Haramayn dan Imam al-Ghazali memberikan sumbangan besar terhadap lembaga-lembaga pendidikannya. Dia mendirikan begitu banyak madrasah dari Khurasan di timur hingga Syria dan Mesopotamia di barat. Imam al-Haramayn bukan hanya memiliki otoritas besar di Madrasah Nizamiyah Khurasan, yakni madrasah yang dipercayakan sepenuhnya oleh Nizam al-Mulk kepadanya, melainkan juga menjadi khatib yang disegani di Nishapur. Sebagian besar posisi penting keagamaan di pemerintahan dipegang para ulama Syafi’iyyah-Asy’ariyyah, sedangkan posisi yang kurang penting dipegang oleh Hanafiyyah. Disebabkan madrasah yang berkembang pesat dan penurunan pajak rakyat, aghniya’ (jutawan dermawan) dengan tulus mendukung proyek madrasah dengan sumbangan mereka yang berupa sedekah dan wakaf. Ini berarti bahwa madrasah-madrasah yang didirikan Nizam dengan mantap disponsori oleh penguasa dan rakyat.
Dengan demikian, gerakan-gerakan madrasah ini bias dipandang sebagai upaya reaksi terhadap gerakan Syi’ah yang sebagian besar di barat, terutama di Mesir (Universitas Al-Azhar), atau dilihat sebagai upaya untuk mengimbangi rekayasa pendidikan yang dilancarkan sebelumnya oleh Hanafiyyah di Nishapur. Tetapi yang jelas rekayasa pendirian madrasah-madrasah di bawah kekuasaan Nizam itu merupakan symbol kemenangan Sunni sekaligus sebagai buah yang dipetik oleh wazir besar Nizam al-Mulk atas keberhasilannya dalam menangani konflik-konflik interen dalam masyarakat.[4]
4.      TUJUAN PENDIDIKAN MADRASAH NIZAMIYAH BAGHDAD

Madrasah ini boleh dilihat sebagai suatu reaksi terhadap gerakan Syiah di Arab belahan barat atau juga terhadap rekayasa lembaga pendidikan Hanafiyyah yang sudah mapan sebelumnya di Nishapur. Betapa pun, berdirinya Madrasah Nizamiyah merupakan satu symbol kemenangan Sunni dan juga merupakan salah satu cara manis Nizam al-Mulk dalam menangani konflik-konflik intrernal masyarakat yang ada.

Berdasarkan asumsi ini, tidaklah berlebihan jika disimpulkan lebih jauh bahwa tujuan madrasah ini paling tidak mempunyai dua point, yakni untuk memperkuat idiologi Syafi’i-Asy’ari di satu sisi dan membendung serangan dari pihak lain, seperti dari Hanbaliyyah, Hanafiyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah di sisi lain. Untuk mendukung roda pemerintahan Nizam adalah satu kemungkinan, tetapi hal itu tampaknya lebih merupakan strategi Nizam sendiri daripada tujuan madrasah sebagai sebuah lembaga.

Bagaimana lembaga pendidikan ini mendorong ajaran-ajaran Syafi’i-Asy’ari terbukti dengan hadirnya sejumlah tokoh kenamaannya, seperti Abu Ishaq al-Shirazi, al-Ghazali dan tokoh-tokoh shaleh lainnya. Di samping satu pusat Madrasah Nizamiyah di Baghdad, paling tidak masih ada 9 Madrasah Nizamiyah lainnya yang tersebar dari Jazirah ibn Umar sampai ke Nishapur.[5] Keberhasilan pengajaran madrasah-madrasah ini bias diketahui dari laporan Abu Ishaq al-Shirazi yang menyatakan bahwa selama melakukan perjalanan dari Baghdad sampai Khurasan, ia menemukan semua murid-muridnya (Syafi’iyyah) sudah menduduki jabatan-jabatan penting, seperti qadli, mufti atau khatib.

Madrasah Nizamiyah di Nishapur dibangun untuk ulama kenamaan Juwayni, Imam al-Haramayn. Tokoh Syafi’i-Ash’ari ini menjadi lebih radikalkarena dia pernah diasingkan oleh al-Kunduri. Juwayni, tokoh sentral MAdrasah Nizamiyah Nishapur, adalah contoh menarik untuk memahami bagaimana madrasah ini bertujuan mempertahankan ajaran-ajaran Ash’ariyyah. Kritiknya yang tajam terhadap etika Mu’tazilah dapat dibaca dalam kitabnya al-Irshad ila Qawati’ al-Adilla fi Ushul al-I’tiqad. Masih menjadi tanda Tanya apakah Madrasah Nizamiyah Nishapur dan Baghdad identik, serta apakah karyanya tersebut merupakan representasi institusinya atau hanya ide-ide pribadinya. Tetapi, yang jelas ada hubungan definitive antara dua lembaga itu, juga posisinya sebagai orang pertama di madrasah ini tentunya berpengaruh besar terhadap potret lembaga tersebut.[6]

Al-Ghazali adalah contoh lain yang menraik untuk memahami bagaimana madrasah ini tidak hanya menyensor Mu’tazilah, tetapi juga filsuf. Kehadirannya di Madrasah Nizamiyah Baghad begitu lama (sekitar 25 tahun) sehingga tidak diragukan lagi bahwa dia memberi corak tersendiri terhadap lembaga ini. Absennya ilmu-ilmu non agama di lembaga ini, yang dipegang kuat oleh Mu’tazilah dan para filsuf, barangkali tidak disebabkan oleh sosok al-Ghazali karena ia datang terlambat. Tetapi, pengabaian terhadap ilmu-ilmu sekuler adalah tipikal bagi madrasah ini, persis dengan apa yang dilakukan al-Ghazali di akhir hayatnya. Betapapun, guru adalah sebuah personifikasi dari sebuah lembaga dalam masyarakat tradisional. Dengan demikian, sulitlah membedakan antara guru yang benar-benar fungsional dengan madrasah itu sendiri.

Madrasah ini secara otomatis juga melindungi idiologinya dari pengaruh Syiah. Hal ini ma’qul karena pada masa yang sama Dinasti Fatimiyah di Mesir sedang berjaya, juga dakwah militant dari Isma’iliyyah ada di mana-mana, salah satu dakwahnya menggunakan media pendidikan dengan mendirikan universitas Al-Azhar.

 

 

 

KESIMPULAN

Madrasah Nizamiyah merupakan prototype awal bagi lembaga pendidikan tnggi, ia juga dianggap sebagai tonggak baru dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, dan merupakan karateristik tradisi pendidikan Islam sebagai suatu pendidikan resmi dengan sistem asrama. Pemerintahan/penguasaan ikut terlibat di dalam menentukan tujuan, kurikulum, tenaga pengajar, pendanaan, sarana fisik, dan lain-lain, yang memberikan inspirasi pada pendirian universitas-universitas modern.





REFERENSI

Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, 2002, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Yogyakarta : Gama Media.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 2002, Ensiklopedi Islam jilid 4, cetakan ke-10, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve.

M. Faruqi, The Development of the Institutions of Madrasa and the Nizamiyya of Baghdad, Islamic Studies, vol. 26, musim gugur 1987

http://www.republika.co.id/koran/153/31656/Keunggulan_Pendidikan_I_Nizhamiyah_I

.




[1] http://www.republika.co.id/koran/153/31656/Keunggulan_Pendidikan_I_Nizhamiyah_I
[2] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam jilid 4, cetakan ke-10, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal 44-45.
[3] Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta : Gama Media, 2002), hlm. 101
[4] Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta : Gama Media, 2002), hlm. 106
[5] M. Faruqi, The Development of the Institutions of Madrasa and the Nizamiyya of Baghdad, Islamic Studies, vol. 26, musim gugur 1987, hlm. 258
[6] Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, op.cit, hlm. 107-108

Tidak ada komentar:

Posting Komentar