Jumat, 25 Mei 2012

macam-macam air dan hukumnya


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Pada dasarnya, kita sebagai orang islam mempunyai kewajiban untuk menjalankan sholat. Sebelum menunaikan sholat, kita disyaratkan bersih (suci) baik dari hadats maupun najis. Sedangkan untuk bersih (suci) baik dari hadats maupun najis, kita tidak bisa lepas dari yang namanya air. Wudlu, Jinabat (mandi besar), serta mensucikan pakaian dan tempat ibadah adalah beberapa contoh kegiatan yang bisa dilakukan jika ada air yang suci dan layak digunakan untuk bersuci. Mengingat betapa pentingnya air untuk semua praktik ibadah kita dalam kehidupan sehari-hari, maka sudah seharusnya kita mengetahui mana air yang dapat digunakan untuk bersuci dan mana air yang tidak boleh digunakan untuk bersuci. Karena keabsahan ibadah-ibadah yang kita tunaikan sangat tergantung dari air yang kita gunakan untuk bersuci dari hadats dan najis. Untuk itulah makalah ini disusun, selain diharakan agar kita sebagai orang islam semakin  memahami macam-macam air serta segala sesuatu yang berkenaan dengannya, juga diharapkan agar dapat menerapkan ilmu tentang bagaimanakah air yang suci dan dapat digunakan untuk bersuci dalam kehidupan kita,  sehingga syarat sahnya kegiatan ibadah kita sehari-hari terpenuhi.

BAB II
PEMBAHASAN

   A.    Macam-Macam Air
kata “ Al-Miyah” yang artinya air-air, adalah jamak dari kata “Al-Ma’u”. Asal kata Ma’un asalnya Mauhun; itulah sebabnya nampak huruf Ha’ pada jamaknya itu. Air (Al-Ma’u) itu adalah nama zat cair yang meliputi yang sedikit dan yang banyak; hanya saja air itu dijamakkan karena berbeda macamnya, ditinjau dari hukum syara’. Sesungguhnya dalam hukum syara’ itu ada sesuatu yang dilarang dan ada yang makruhkan.
Air yang dapat dipakai ialah air yang bersih (suci dan mensucikan) yaitu air yang turun dari langit atau air yang keluar dari bumi yang belum dipakai untuk bersuci.
Air yang suci dan mensucikan ialah:
1.      Air hujan                                 5. Air salju
2.      Air sumur                                6. Air yang keluar dari mata air
3.      Air laut                                    7. Air embun
4.      Air sungai
Pada dasarnya air yang dibagi menjadi tujuh seperti yang dijelaskan di atas, air itu di bagi menjadi dua yaitu air yang bersumber dari langit dan air yang bersumber dari bumi. Kemudian dengan adanya proses penguapan dan lain sebagainya maka pembagian air tersebut menjadi lebih diperinci. Dengan demikian sebagian orang enggan berwudu dengan air laut karena rasanya asin, dan mereka mengira air laut tidak boleh digunakan untuk berwudu.
Hal ini tentu saja salah karena air laut itu suci dan mensucikan. Salah seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah, “Apakah kita dapatt berwudu dengan air laut?” Rasulullah menjawab:
“Air laut itu suci dan bangkainya halal.”
Di dalam kitab An-Nihayah bahwa mengenai adanya air laut sebagai alat penyuci, terdapat perbedaan pendapat di kalangan sebagian ahli (ulama) pada masa permulaan Islam; dan seakan-akan untuk mengemukakan lebih dahulu tentang perbedaan air laut, maka ibnu Hajar (pengarang) memulai dengan memberikan hadits yang memberikan pengertian sucinya air laut dan inilah yang menjadi hujjah jumhur ulama’.

   B.     Pembagian Air Menurut Hukumnya
Ditinjau dari hukumnya, air dapat dibagi menjadi empat bagian:
    1.      Air yang suci mensucikan dan tidak makruh (thohir muthohir ghoiru makruh).
Air ini adalah air yang boleh dipakai untuk minum dan untuk mensucikan (membersihkan) benda yang lain. Yaitu air yang masih murni yang jatuh dari langit atau yang bersumber dari bumi dan masih tetap belum berubah keadaannya, seperti: air hujan, air laut, air sumur, air es yang sudah hancur kembali, air embun dan air yang keluar dari mata air. Allah telah berfirman pada QS Al-Anfal : 11: “Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu.”
Perubahan air yang tidak menghilangkan keadaan atau sifatnya suci mensucikan. Walaupun perubahan tersebut terjadi pada salah satu dari semua sifatnya yang tiga yaitu; warna, rasa, dan baunya, adalah sebagai berikut:
a.    Berubah karena tempatnya, seperti air yang tergenang atau mengalir di batu belerang.
b.    Berubah karena lama tersimpan.
c.    Berbubah karena sesuatu yang terjadi padanya, seperti berubah karena ikan.
d.   Berubah karena tanah yang suci, begitu juga berubah yang sukar memeliharanya misalnya berubah karena daun-daunan yang jatuh dari poho-pohon yang berdekatan dengan sumur atau tempat-tempat yang lainnya.
   2.      Air yang suci mensucikan tetapi makruh (thohir muthohir makruhun).
Yaitu air yang terjemur oleh matahari dalam bejana selain bejana emas atau perak. Air ini makruh dipakai untuk badan. Tetapi tidak makruh untuk pakaian; kecuali air yang terjemur di tanah, seperti air sawah, air kolam, dan tempat-tempat yang bukan bejana, yang mungkin berkarat. Sabda Rasulullah saw. dari Aisyah. Sesungguhnya ia telah memasakkan air pada cahaya matahari. Maka Rasulullah saw, berkata kepadanya, “jangan engkau berbuat demikian, ya Aisyah. Sesungguhnya air yang dijemur itu menimbulkan sopak.”(riwayat Baihaqi).

   3.      Air suci tetapi tidak mensucikan (thohir ghoiru muthohir).
Zatnya suci tetapi tidak sah dipakai untuk mensucika sesuatu. Yang termasuk dalam kategori ini ada tiga macam air:
a.    Air yang telah berubah salah ssatu sifatnya karena bercampur dengan sesuatu benda yang suci, selain dari berubahan yang tersebut di atas seperti air teh, air kopi, dan sebagainya.
b.    Air sedikit kurang dari dua kulah (tempatnya persegi panjang yang mana panjangnya=60 cm, dalamnya/tingginya=60 cm, jadi bila air dalam suatu wadah jumlahnya 270 liter). Sudah terpakai untuk menghilangkan hadats atau menghulangkan najis sedangkan air itu tidak berubah sifatnya serta tidak bertambah timbangannya. Ukuran jumlah 2 kulah sesungguhnya bersumber dari hadits nabawi ini:
“Dari Abdullah bin Umar ra. Berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, apabila jumlah air mencapai 2 kulah, tidak membawa kotoran. Dalam lafadz lainnya, tidak membuat najis.”
c.    Air pohon-pohonan atau buah-buahan, seperti air yang keluar dari tekukan pohon kayu (air nira), air kelapa, dan sebagainya.
   4.      Air najis (ma’un najis).
Air yang termasuk kedalam bagian ini ada dua macam:
a.    Sudah berubah salah satu sifatnya oleh najis. Air ini tidak boleh dipakai lagi, baik airnya sedikit atau banyak, sebab hukumnya seperti najis.
b.    Air bernajis tetapi tidak berubah salah satu sifatnya. Air ini kalau sedikit berarti kurang dari dua kulah tidak boleh dipakai lagi, bahkan hukumnya sama dengan najis. Kalau air itu banyak berarti dua kulah atau lebih, hukumnya tetap suci dan mensucikan. Rasulullah bersabda : air itu dinajisi sesuatu, kecuali apabila berubah rasa, warna, atau baunya.”(riwayatnya ibnu majah dan baihaqi). Dalam hadits lain Rasulullah saw: “apabila air cukup dua kulah, tidaklah dinajisi oleh sesuatu apapun.”(riwayat oleh ilmu ahli hadits).
 
BAB III
KESIMPULAN
1.    Macam-macam Air
Air yang dapat dipakai bersuci ialah air yang bersih (suci dan mensucikan) yaitu air yang turun dari langit atau keluar dari bumi yang belum dipakai untuk bersuci.
Air yang suci dan mensucikan ialah:
a.    Air hujan                             e. Air es/ air salju
b.    Air sumur                            f. Air yang keluar dari mata air
c.    Air laut                               g. Air embun
d.   Air sungai

2.    Pembagian Air Menurut Hukumnya
Ditinjau dari segi hukumnya, air itu dapat dibagi empat bagian:
a.    Air suci dan mensucikan, yaitu air yang mutlak artinya air yang masih murni, dapat digunakan untuk bersuci dengan tidak makruh, (air mutlak artinya air yang sewajarnya).
b.    Air suci dan dapat mensucikan, tetapi makruh digunakan, yaitu air musyamas (air yang dipanaskan dengan matahari) ditempat logam yang bukan emas.
c.    Air suci tetapi tidak dapat mensucikan, seperti:
     Air musta’mal (telah digunakan untuk bersuci) menghilangkan hadats. Atau menghilangkan najis walaupun tidak berubah keadaannya.
d.   Air mutanajis yaitu air yang terkena najis (kemasukan najis). Sedang jumlahnya kurang dari dua kulah, maka air yang semacam ini tidak suci dan tidak mensucikan. Jika lebih dari dua kulahdan tidak berubah sifatnya, maka sah untuk bersuci.







REFERENSI

Bali,Wahid Abdus Salam,2008.474 Ibadah Salah Kaprah.Jakarta:Amzah

Muhammad,Abubajar,Drs.1991.Terjemahan Subulus Salam.Surabaya:Al-Ikhlas

Rifa’i, Moh., DRS.2004.Tuntunan Shalat Lengkap.Semarang:Toha Putra

Suja’,Abi. Matan al-Ghayatu Wa Takrib.Surabaya:Al-Miftah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar