Jumat, 25 Mei 2012

epistemologi islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Sejarah telah mencatat bahwa peradaban islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 sampai abad ke-15. Setelah itu, masa keemasaan itu mulai surut, bahkan mundur hingga abad ke-21 ini. [1]
Hal itu terjadi karena isalam dalam kajian pemikirannya paling tidak menggunakan beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem berpikir dalam islam, yakni bayani, burhani, dan irfani yang masing-masing mempunyai pandangan yang berbeda tentang pengetahuan. Ketiga sistem tersebut dikenal juga tiga aliran pemikiran epistemologi barat dengan bahasa yang berbeda, yakni empirisme, rasionalisme, dan intuitisme. Sementara itu dalam pemikiran filsafat Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal, dan pengalaman pribadi.
Selain sebagai instrumen untuk mencari kebenaran, ketiga epistemologi tersebut juga bisa digunakan sebagai sarana identifikasi cara berfikir seseorang. Pemahaman paling sederhana pada ketiga epistemologi ini adalah jawaban dari pertanyaan, “dengan apakah manusia mendapatkan kebenaran?”.
Seorang filosof dengan corak burhani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari akal atau panca indera. Dengan kedua sarana ini manusia memunculkan dua dikotomi antara apa yang disebut rasional dan irasional. Rasional adalah sebuah kebenaran begitu juga sebaliknya dengan yang dimaksut irasional yaitu kesalahan.
Selanjutnya orang yang memiliki corak berfikir bayani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari teks. Rassio tidak memiliki tempat dalam pembacaan mereka terhadap kebenaran. Sedangkan orang yang memiliki corak berfikir irfani, akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari wahyu, ilham, wangsit, atau sejenisnya. Pola berfikir yang demikian akan membangun sebuah struktur masyarakat yang memiliki hirarki atas bawah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Bayani, Burhani, Dan Irfani
a.    Bayani
Dari kata-kata bahasa arab, bayan berarti penjelasan atau keterangan.[2]  Menurut Al-Jabiri, ada lima pengertian yang paling tepat untuk arti Bayan, yaitu : al-washal (sambungan, pertalian), al-fashal (pemisah), azh-zhuhur wa al-wuduh (jelas, nyata), al-fashahah wa al-qudrah ‘ala at-tabligh wa al-iqna’ (kefasihan dan kemampuan dalam menyampaikan pemahaman kepada orang lain) , dan al-insan hayawan mubin (manusia adalah hewan yang bisa menjelaskan).
Kemudian secara terminologi, bayan mempunyai dua arti, yaitu:
1.    Sebagai aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin at-tafsir al-khithabi)
2.    Syarat-syarat memproduksi wacana (syuruth intaj al-khitab)

b.    Burhani
Burhani merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan atau menjernihkan. Menurut ulama’ ushul, al-burhan adalah sesuatu yang memisahkan kebenaran dari kebatilan dan membedakan yang benar dari yang salah melalui penjelasan. Epistemologi burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah, indrawi, eksperimentasi, dan konseptualisasi.
Jadi epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal-akal. Epistemologi burhani ini dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti mu’tazilah dan ulama-ulama moderat.

c.    Irfani
Mengerti makna irfani berasal dari kata irfan yang dalam bahasa arab merupakan bentuk dasar dari kata arafa yang semakna dengan ma’rifat. Dimana objek pengalaman atau pengetahuanyang diperoleh lengsung dari objek pengetahuan. Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti bayani tetapi pada tasawuf, tersikapnya rahasia-rahasia dari Tuhan. Dengan demikian pengertian irfani adalah model metodologi berfikir yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan.
Irfani dari kata dasar bahasa arab ‘arafa yang berarti pengetahuan. Tetapi irfani berbeda dengan ilmu. Irfan berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman, sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi atau rasionalitas. Karena itu secara terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya setelah adanya ruhani yang dilakukan atas dasar cinta.

B. Sumber Yang Digunakan Pada Epistemologi Bayani, Burhani, Dan Irfani
1.    Sumber Pengetahuan Bayani
Meskipun menggunakan metode rasional filsafat seperti digagas Syathibi, epistemologi bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam ushul al-fiqh, yang dimaksut nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah al-Qur’an dan As-Sunnah. Ini berbeda dengan pengetahuan burhani yang mendasarkan diri pada rasio dan irfani pada intuisi. Karena itu, epistemologi bayani menaruh perhatian besar dan teliti pada proses tranmisi teks dari generasi ke generasi. Ini penting bagi bayani, karena sebagai sumber pengetahuan, di dalam bayani, benar tidaknya tranmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika tranmisi teks bisa dipertanggungjawabkan, berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar hukum. Sebaliknya, jika transmisi teks diragukan, maka kebenaran teks tidak bisa dipertanggungjawabkan, dan itu berarti ia tidak bisa dijadikan untuk landasan hukum. Karena itu pula, mengapa pada masa kodifikasi, khususnya kodifikasi hadits, para ilmuwan begitu ketat dalam menyeleksi sebuah teks yang diterima.

2.    Sumber Pengetahuan Burhani
Model sistem berfikir burhani ini bersandar pada empiris dan rasio, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Rasio inilah yang memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indra. Metode burhani diadaptasi oleh kaum peripatetik (al-Farabi dan Ibn Sina) ke dalam tradisi islam yang juga dikembangkan oleh Ibn Rusyd sebbagai pengetahuan mendampingi epistemologi bayani yang diyakininya sejalan dengan perintah al-Qur’an dan al-Hadits.
Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan selain bersumber pada yang empiris, burhani menggunakan aturan silogisme. Mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat,  (1) mengetahui latar belakang dari penyusunan premis, (2) adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan, (3) kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulakan kebenaran atau kepastian lain. Kemudian, ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut al-‘Ilm al-Husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematisasikan hanya melalui premis-premis logika.[3]

3.    Sumber Pengetahuan Irfani
Epistemologi irfani bersumber dari kedalaman  wujud sang ‘arif itu sendiri, dari segi media atau alat pengetahuan, ia bersumber dari kedalaman-kesejatian wujud sang ‘arif; dari segi objek pengetahuan, ia menjadikan wujud sebagai objek kajiannya; dari segi cara memperoleh pengetahuan, ia diperoleh dengan cara menyelami wujud kedirian melalui metode riyadhoh.
Pengetahuan irfani dilatarbelakangi oleh pandangan tentang keterbatasan akal manusia untuk menangkap realitas. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan; untuk bisa menerima limpahan pengetahuan manusia harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. (2) penerimaan; jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme seseorang akan mendapatkan limpahan langsung dari Tuhan secara iluminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak, sehingga dengan kesadarn itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri sebagai objaek yang diketahui. Pengungkapan, dengan lisan ataupun tulisan.

C.Keunggulan Dan Kelemahan Dari Corak Berfikir Bayani, Burhani, Dan Irfani
pada prisipnya, islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga kecenderungan epistemologi yang ada, dalam perkembangannya lebih didominasi oleh corak berfikir bayani yang sangat tekstual dan corak berfikir irfani yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio secara optimal.
Keunggulan bayani terletak pada kebenaran teks (al-Qur’an dan Hadits) sebagai sumver utama hukum islam yang bersifat universal sehingga menjadi pedoman dan patokan. Dikarenakan bayani menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga kurang adanya keseimbangan , saling mengisi, dan saling melengkapi antara teks dan akal.
Sistem berfikir yang kontruksi epistemologinya dibangun di atas semangat akal dan logika dengan premis merupakan keunggulan epistemologi burhani, nemun kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas.
Di antara keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi, musyahadah dan muka syafah lebih dekat dengan kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentsi-argumentasi rasional dan akal. Namun kendala atau keterbatasan irfani antara lain adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati oleh segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian diri yang tingg.
BAB III
KESIMPULAN

   A.    Epistemologi bayani adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks dan bersumber pada teks, yakni teks nash (al-Qur’an dan as-Sunnah), teks non nash berupa karya para ulama.
   B.     Epistemologi burhani adalah bahwa untuk mengukur benar tidaknya sesuatau berdasarkan komponen kemampuan alamiyah manusia. Perpaduan dari epistemologi bayani dan burhani muncul nalar abduktif yakni mencoba memadukan model berpikir deduktif dan induktif.
   C.     Epistemologi irfani adalah pendekatan yang bersumber pada intuisi, dari irfani muncul illuminasi.


 REFERENSI

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1990)

Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (yogyakarta: Teras, 2009)

Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007)





[1] Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 18.
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1990)
[3] Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (yogyakarta: Teras, 2009), h. 86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar