BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sejarah telah
mencatat bahwa peradaban islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia
sekitar abad ke-7 sampai abad ke-15. Setelah itu, masa keemasaan itu mulai
surut, bahkan mundur hingga abad ke-21 ini. [1]
Hal itu
terjadi karena isalam dalam kajian pemikirannya paling tidak menggunakan
beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan (epistemologi).
Setidaknya ada tiga model sistem berpikir dalam islam, yakni bayani, burhani,
dan irfani yang masing-masing mempunyai pandangan yang berbeda tentang
pengetahuan. Ketiga sistem tersebut dikenal juga tiga aliran pemikiran
epistemologi barat dengan bahasa yang berbeda, yakni empirisme, rasionalisme,
dan intuitisme. Sementara itu dalam pemikiran filsafat Hindu dinyatakan bahwa
kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal, dan
pengalaman pribadi.
Selain
sebagai instrumen untuk mencari kebenaran, ketiga epistemologi tersebut juga
bisa digunakan sebagai sarana identifikasi cara berfikir seseorang. Pemahaman
paling sederhana pada ketiga epistemologi ini adalah jawaban dari pertanyaan,
“dengan apakah manusia mendapatkan kebenaran?”.
Seorang
filosof dengan corak burhani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari akal
atau panca indera. Dengan kedua sarana ini manusia memunculkan dua dikotomi
antara apa yang disebut rasional dan irasional. Rasional adalah sebuah
kebenaran begitu juga sebaliknya dengan yang dimaksut irasional yaitu
kesalahan.
Selanjutnya
orang yang memiliki corak berfikir bayani akan menjawab bahwa sumber kebenaran
itu dari teks. Rassio tidak memiliki tempat dalam pembacaan mereka terhadap
kebenaran. Sedangkan orang yang memiliki corak berfikir irfani, akan menjawab
bahwa sumber kebenaran itu dari wahyu, ilham, wangsit, atau sejenisnya. Pola
berfikir yang demikian akan membangun sebuah struktur masyarakat yang memiliki
hirarki atas bawah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Bayani, Burhani, Dan Irfani
a.
Bayani
Dari kata-kata bahasa arab, bayan berarti
penjelasan atau keterangan.[2] Menurut Al-Jabiri, ada lima pengertian yang
paling tepat untuk arti Bayan, yaitu : al-washal (sambungan, pertalian),
al-fashal (pemisah), azh-zhuhur wa al-wuduh (jelas, nyata), al-fashahah wa
al-qudrah ‘ala at-tabligh wa al-iqna’ (kefasihan dan kemampuan dalam
menyampaikan pemahaman kepada orang lain) , dan al-insan hayawan mubin (manusia
adalah hewan yang bisa menjelaskan).
Kemudian secara terminologi, bayan mempunyai dua
arti, yaitu:
1.
Sebagai aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin at-tafsir al-khithabi)
2.
Syarat-syarat memproduksi wacana (syuruth intaj al-khitab)
b.
Burhani
Burhani merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah
berarti mensucikan atau menjernihkan. Menurut ulama’ ushul, al-burhan adalah
sesuatu yang memisahkan kebenaran dari kebatilan dan membedakan yang benar dari
yang salah melalui penjelasan. Epistemologi burhani menekankan visinya pada
potensi bawaan manusia secara naluriyah, indrawi, eksperimentasi, dan
konseptualisasi.
Jadi epistemologi burhani adalah epistemologi yang
berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal-akal. Epistemologi
burhani ini dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham
rasionalis seperti mu’tazilah dan ulama-ulama moderat.
c.
Irfani
Mengerti makna irfani berasal dari kata irfan yang
dalam bahasa arab merupakan bentuk dasar dari kata arafa yang semakna dengan
ma’rifat. Dimana objek pengalaman atau pengetahuanyang diperoleh lengsung dari
objek pengetahuan. Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti bayani
tetapi pada tasawuf, tersikapnya rahasia-rahasia dari Tuhan. Dengan demikian
pengertian irfani adalah model metodologi berfikir yang didasarkan atas
pendekatan dan pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan.
Irfani dari kata dasar bahasa arab ‘arafa yang
berarti pengetahuan. Tetapi irfani berbeda dengan ilmu. Irfan berkaitan dengan
pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman, sedang ilmu
menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi atau rasionalitas.
Karena itu secara terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas
pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya
setelah adanya ruhani yang dilakukan atas dasar cinta.
B. Sumber Yang Digunakan Pada Epistemologi Bayani, Burhani, Dan Irfani
1.
Sumber Pengetahuan Bayani
Meskipun menggunakan metode rasional filsafat
seperti digagas Syathibi, epistemologi bayani tetap berpijak pada teks (nash).
Dalam ushul al-fiqh, yang dimaksut nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah
al-Qur’an dan As-Sunnah. Ini berbeda dengan pengetahuan burhani yang
mendasarkan diri pada rasio dan irfani pada intuisi. Karena itu, epistemologi
bayani menaruh perhatian besar dan teliti pada proses tranmisi teks dari
generasi ke generasi. Ini penting bagi bayani, karena sebagai sumber
pengetahuan, di dalam bayani, benar tidaknya tranmisi teks menentukan benar
salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika tranmisi teks bisa
dipertanggungjawabkan, berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar hukum.
Sebaliknya, jika transmisi teks diragukan, maka kebenaran teks tidak bisa
dipertanggungjawabkan, dan itu berarti ia tidak bisa dijadikan untuk landasan
hukum. Karena itu pula, mengapa pada masa kodifikasi, khususnya kodifikasi
hadits, para ilmuwan begitu ketat dalam menyeleksi sebuah teks yang diterima.
2.
Sumber Pengetahuan Burhani
Model sistem berfikir burhani ini bersandar pada
empiris dan rasio, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Rasio inilah yang
memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indra.
Metode burhani diadaptasi oleh kaum peripatetik (al-Farabi dan Ibn Sina) ke
dalam tradisi islam yang juga dikembangkan oleh Ibn Rusyd sebbagai pengetahuan
mendampingi epistemologi bayani yang diyakininya sejalan dengan perintah
al-Qur’an dan al-Hadits.
Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan
selain bersumber pada yang empiris, burhani menggunakan aturan silogisme.
Mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi
beberapa syarat, (1) mengetahui latar
belakang dari penyusunan premis, (2) adanya konsistensi logis antara alasan dan
kesimpulan, (3) kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar,
sehingga tidak mungkin menimbulakan kebenaran atau kepastian lain. Kemudian,
ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut al-‘Ilm al-Husuli, yakni
ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematisasikan hanya melalui premis-premis
logika.[3]
3.
Sumber Pengetahuan Irfani
Epistemologi irfani bersumber dari kedalaman wujud sang ‘arif itu sendiri, dari segi media
atau alat pengetahuan, ia bersumber dari kedalaman-kesejatian wujud sang ‘arif;
dari segi objek pengetahuan, ia menjadikan wujud sebagai objek kajiannya; dari
segi cara memperoleh pengetahuan, ia diperoleh dengan cara menyelami wujud
kedirian melalui metode riyadhoh.
Pengetahuan irfani dilatarbelakangi oleh pandangan
tentang keterbatasan akal manusia untuk menangkap realitas. Dengan demikian
pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan;
untuk bisa menerima limpahan pengetahuan manusia harus menempuh jenjang-jenjang
kehidupan spiritual. (2) penerimaan; jika telah mencapai tingkat tertentu dalam
sufisme seseorang akan mendapatkan limpahan langsung dari Tuhan secara
iluminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri
yang demikian mutlak, sehingga dengan kesadarn itu ia mampu melihat realitas
dirinya sendiri sebagai objaek yang diketahui. Pengungkapan, dengan lisan
ataupun tulisan.
C.Keunggulan Dan Kelemahan Dari Corak Berfikir Bayani, Burhani, Dan Irfani
pada prisipnya, islam telah memiliki epistemologi
yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja
dari tiga kecenderungan epistemologi yang ada, dalam perkembangannya lebih
didominasi oleh corak berfikir bayani yang sangat tekstual dan corak berfikir
irfani yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu
memperhatikan pada penggunaan rasio secara optimal.
Keunggulan bayani terletak pada kebenaran teks
(al-Qur’an dan Hadits) sebagai sumver utama hukum islam yang bersifat universal
sehingga menjadi pedoman dan patokan. Dikarenakan bayani menempatkan akal
menjadi sumber sekunder,
sehingga kurang adanya keseimbangan , saling mengisi, dan saling melengkapi
antara teks dan akal.
Sistem berfikir yang kontruksi epistemologinya dibangun
di atas semangat akal dan logika dengan premis merupakan keunggulan
epistemologi burhani, nemun kendala yang sering dihadapi dalam penerapan
pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas.
Di antara keunggulan irfani adalah bahwa segala
pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi, musyahadah dan muka syafah
lebih dekat dengan kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari
argumentsi-argumentasi rasional dan akal. Namun kendala atau keterbatasan
irfani antara lain adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati oleh segelintir
manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian diri yang tingg.
BAB III
KESIMPULAN
A. Epistemologi bayani adalah
pendekatan dengan cara menganalisis teks dan bersumber pada teks, yakni teks
nash (al-Qur’an dan as-Sunnah), teks non nash berupa karya para ulama.
B. Epistemologi burhani adalah
bahwa untuk mengukur benar tidaknya sesuatau berdasarkan komponen kemampuan
alamiyah manusia. Perpaduan dari epistemologi bayani dan burhani muncul nalar
abduktif yakni mencoba memadukan model berpikir deduktif dan induktif.
C. Epistemologi irfani adalah
pendekatan yang bersumber pada intuisi, dari irfani muncul illuminasi.
REFERENSI
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta : PT.
Hidakarya Agung, 1990)
Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (yogyakarta: Teras, 2009)
Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar